Rabu, 08 Mei 2013

undangan



Bismillahirahmanirahim
cincin adalah hal sederhana yang mengikat kita
Padamu ruah segala arus yang membuncah. Padamu tangis pernah tumpah dan tawa pernah meriah. Padamu kucuri waktu. Penatian ini tunai pada sebait akad di depan Tuhan dan perjalanan ini bermuara pada peristiwa: penyerahan. segala rembuk telah menemu ujung pada rupa yang segala, pada segala yang merupa. Air jatuh pada buluh,harapan hati pembawa suluh , kau mengharukan rindu. Tak pernah bisa ku lukiskan,tak pernah bisa ku sajak kan. Pada akhirnya cinta adalah pemenang. Dan kau tau, waktu yang lugu setelah ini akan menjadi puisi yang mengharu. Akad ini akan menjadi tanda bahwa kau tak pernah ditinggalakn dan akad ini adalah tanda bahwa aku memuja keajaiban mata dan senyummu.
Akhirnya sampai pada waktu. Dimana bibirmu adalah candu. Baumu adalah mantra penyamun
Kita akan terus mencabuti uban. “Ia merengkuhku ketika gelap menyapu mataku. Lalu ia menutup telingaku. Ketika hujan mengentak-entak. Di atap rembia loteng,” kenangku pada anak cucu kita suatu hari nanti “nenekmu takut akan gemuruh hujan dan gelap”, selamu. Lalu cinta yang sederhata ini akan menjadi puisi panjang yang menghabiskan sisa umur.

Maminang



Pada tangan yang akan membuatkan syurga
Hampir tidak percaya kalau kisah ini akan menemu ujung pangkalnya. Entah angin apa, Kamis, 21 Maret 2013 Putra datang ke tempat kerja ku. Aku bekerja pada sebuah yayasan di Perawang, daerah Siak Indra Pura, berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan mobil dari pusat kota pekanbaru. Dia datang sekitar habis magrib, dua hari sebelumnya dia sempat mengabariku akan Datang, ah….aku tak percaya, dua tahun di sini Putra tak pernah berkunjung.
Sore yang temaram di Tualang, kesibukan lalu lintas, aku melihat jantung hatiku berdiri gagah diseberang jalan, mengenakan kaus kuning, celana hitam panjang dan sepatu boot tanggung. Aku hanya tersenyum, betapa aku mencitainya. Putra punya waktu cukup panjang bisa tinggal beberapa hari di Perawang, dia menemuiku siang hari dan pulang malam harinya ke rumah bibinya di sebuah perumahan di kilometer 5.
Hari pertama Putra di sini kami hanya saling menatap, betapa rindu yang gila ini harus segera dijinakan. Hari kedua, sedikit gerimis, kami duduk di pinggir kolam kura-kura di taman belakang sekolah. Ada enam kura-kura di sana, kami memanggilnya Tung-Tung. Kami melempar beberapa potongan sayur ke dalam kolam. Gerimis masih awet namun tak lebat.