Kamis, 24 November 2011

Catatan Seorang Guru Muda (5)

“Do this exercise,” ujar seorang guru sambil menulis beberapa latihan di papan tulis.
CRACKK!!!!CRACK!!! suara buku dikoyak. Tak sedikit semua nilai A+ bertebaran. Sang guru muda melihat kepada siswa. “What Happened??!”  mata bulatnya jelas sekali kalau dia sangat terkejut.
“Aku nggak mau mengerjakan latihan ini!!!!ANJINGLAH!!!!” untung gurunya muda dan belum tua kalau tidak mungkin sudah pingsan duluan atau palingtidak gemetaran. “Ini yang miss harapkan kan?” dia menyodorkan kertas-kertas koyak itu kepada sang guru. “Kamu kenapa???Stand up!!Come here!” sang anak yang badanya gembul maju ke depan. “Minta maaf sekarang” si anak masih diam, menatap berang.
“Come on…Budi nggak sayang ya sama mamanya. Kenapa ngomong kek gitu?siapa yang ngajarin,”
“ Aku kan Cuma bilang ANJING bukan P****K,”luar biasa

“ Sama aja. Sama-sama nggak bagus dua-duanya,” sang guru harus mengalah
“Miss dah capek-capek. Mama juga. Miss ngajarin Budi di sini sementara mama ngajarin Budi di rumah, Budi nggak sayang Mama?”
“MAMA SAMA PAPA AKU ITU BERANTAM TERUS,MISS!!!!!!PAPA AKU ITU PUNYA PEREMPUAN LAIN!!!AKU MATI SAJALAH!!” kalimatnya meluncur garang sekali dengan logat batak yang semakin bengis.
Dia baru kelas tiga pada sebuah sekolah dasar. Badannya gembul. Kalau melihat dia dengan pantat yang persisi seperti bebek…ahh…dia terlalu mengemaskan untuk masalah seberat ini.
“Papa nggak mungkin punya wanita lain lagi. Palingan itu hanya teman. Mama sama Papa salah paham mungkin. Budi, ngga usah difikirkan ya sayang,” guru mulai bijak. Tak tega melihat anak didik begitu putus asa dan ingin mati.
“MANA YA????AKU TENGOK SENDIRI SMSNYA!!!”guru hanya bisa memeluk dan beberapa tahap “menjinakan” dilakukan
***
Hari ini 25 November 2011. Dimana pada hari ini adalah hari guru dan di tandai lahirnya PGRI l pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Pada hari guru ini juga, kami para guru muda dihadapkan pada polemic yang skopnya kecil namun umum. Yaitu perlu peran aktif dan kolaborative orang tua untuk kemajuan peserta didik.
Selama ini mungkin yang dipahami oleh orang tua hanya bagaimana anak bisa juara dengan dibantu belajar di rumah, disediakan fasilitas belajar dan selalu mendukung anak. Namun ada yang penting, kondisi social di rumah tangga memperngaruhi kondisi anak di tempat belajar.
Mungkin karena belajar pada sekolah non-formal, dimana siswa dengan guru memiliki kedekatan emosional yang baik sehingga si Budi mau curhat, mau memberontak dan akhirnya keluhnya tersampaikan. Bersyukur dia punya guru yang cerdas, pandai dan paham. Bagaimana dengan budi-budi yang lain, ketika masalah yang ditimbulkan oleh orang tua justru membuatnya lari kepada hal yang negative. Seperti narkoba atau pergaulan bebas mungkin untuk anak se umuran Budi ini masih bisa di awasi, tapi bagaiman dengan satu kalimatnya yang menyatakan ingin bunuh diri?apa para orang tua siap dengan kondisi ini?kalau orang tua tidak siap dengan resiko yang sangat tragis ini, seharusnya orang tua juga berfikir, beban apa yang telah anda berikan kepada anak anda.
Secara lansung otomatis anda tidak ingin membebani buah hati anda dengan masalah keluarga. Tapi bisa anda bayangkan jika tiap hari bapak dengan ibuknya adu mulut dan kadang main gampar-gamparan, hal yang sangat tidak mungkin si anak tidak kepikiran.
Kalimat sangat ingin mati, bukan sekali ini saja dia ucapkan. Sudah berulang kali. Sebelumnya si anak juga pernah mengatakan bahwa dia telat karena orang tuanya berantam dulu, tidak ada yang mengantar. Ini PR bagi semua orang tua, sudahkah anda menciptakan kondusi yang kondusif bagi anak-anak anda, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga non-fisik.
Sebagai guru, ini sebuah tantangan yang sangat luar bisa, dimana guru harus tetap “mencerdaskan” namun ketika psikologi anak terganggu dia juga harus bisa “menenangkan”. Apa jadinya kalau guru tidak tau bagaimana perkembangan peserta didik, bagaimana  mengatasi masalah ini, bagaiman bersikap kepada bocah, remaja dan anak hampir matang,solusinya pasti berbeda. Karena ini sangat pribadi, sangat tidak mungkin di bicarakan dengan orang tua.
Disini saya ingin mengutarakan, menurut hemat saya, seorang guru harus tamatan Program study kependidikan. Saya bukan meragukan mereka yang tamatan program studi murni untuk ilmu pengetahuan, Saya rasa mereka  cukup paham, Karena mereka justru lebih mendalami bidang ilmu secara konsep. Kelebihan pada mereka yang tamatan kependidikan, mereka belajar “ilmu mengajar”. Guru harus pintar dan paham psikologi anak. *
*Tulisan ini didedikasikan untuk seluruh orang tua dan guru di dunia umumnya dan khususnya untuk Miss Mona Henglijen.

1 komentar:

  1. ya, gaya didik seperti dulu tak mungkin dipakai lagi. harus ada kolaborasi guru dan orang tua. komunikasi reguler memantau perkembangan si anak. jadi tak bulat-bulat menyerahkan nasib si anak ke sekolah dan terima beres melalui nilai. satu lagi yang saya suka dari tulisan ini,tenaga pengajar haruslah tamatan kependidikan. karena saya rasa mendidik bukan hal mentransfer ilmu tapi lebih dari itu. guru bisa menjelma jadi siapa saja untuk memahami anak didiknya

    BalasHapus