Sabtu, 05 November 2011

KIKI ANDRIA



Undangan ditangan Kiki sudah tak beraturan bentuknya. Undangan yang terbungkus amplop putih itu sudah berwarna kecoklat-coklatan, ujung-ujungnya sudah patah. Seandainya undangan itu bisa berteriak mungkin ia akan memohon agar Kiki lebih berbelaskasihan kepadanya. Tapi bagi Kiki surat undangan itu bagaikan hantu yang bisa bangun kapan saja, lalu menerkam Kiki.

***
            Kalau kalian mau, kalian bisa mengerjakan PR Matematika di rumah ku sore  ini. Nanti kita gilir di rumah siapa selanjutnya,” usul Nesa, setelah jam sekolah usai. Teman-teman yang lain masih asik berhayal. Pernah suatu ketika mereka mengerjakan PR di rumah Nesa, bukannya belajar malah asyik makan karena Mama Nesa menyajikan macam-macam cemilan ketika mereka belajar. Malah Rini, salah seorang teman mereka mintak kantong untuk membawa kue-kue  itu pulang. Beda dengan Kiki, ia malah kaget,tak pernah ia bayangkan jika teman-temannya ini samapai belajar di rumahnya.
            “Bagaimana?Kalian setuju nggak?”desak Nesa karena tak ada temannya satu pun yang merespon.
            “Setuju. Setuju,” jawab mereka kompak. Mana ada do’a untuk nolak rejeki, cetus mereka cekikikan. Mereka berpisah  di ujung gang sekolah. Rini, Hanum, Dewi dan Ayu ditunggu jemputan mereka masing-masing. Kecuali Kiki, sejauh ini ia berhasil melarang Ayahnya untuk menjemputnya kesekolah. Termasuk melarang teman-temannya kerumah. Pokoknya jangan sampai teman-temanya bertemu dengan orang tuanya.
            Sore itu setelah membantu Ibu mengambil daun pisang di kebun, Kiki lansung mandi dan bergegas menuju rumah Nesa. Kiki beruntung bisa diajak belajar bareng, Hanum dan Rini jago di matematika, Ayu pintar dalam pelajaran bahasa indonesia, sementara Dewi hebat melukis dan kesenian, Kiki lebih mudah untuk menghapal nama-nama kota, negara atau nama-nama pahlawan.
            “Negara yang besar adalah negara yang ingat dengan jasa pahlawannya. Salah satu caranya, tahu siapa pahlawan kita dan jasanya kepada negara kita. Kiki salah satu orang yang yang akan membesarkan negara ini,”puji Buk Suci tempo hari di kelas.
            “Besok kita kerumah siapa lagi nih?” Hanum memecah kesunyian ketika mereka sudah mulai belajar dari tadi, tetapi tetap tak beralih pandang dari buku yang dibacanya.
            “Kerumah kamu aja,Ki. kan dekat dari sini,”jawab Nesa. Cuma Nesa yang tau rumahnya pasalnya, Ibu Kiki pernah bekerja di rumah Nesa. Mereka berteman telah sejak lama, sejak mereka belum masuk TK. Ketika Nesa bertanya Kiki dan ibunya itu siapa, Mamanya menjawab Ibu Kiki bekerja membantu mencucikan baju Nesa dan keluarganya. Nesa tak pernah mempedulikan apa pekerjaan ibu Kiki, tanpa mengambil jarak mereka sudah dekat dari kecil. Sekarang ibu Kiki tak bekerja di rumah Nesa lagi.
            Kiki Cuma diam. Dia melihat Nesa penuh harap Nes, tolong tarik kata-katamu teriaknya. Tapi Nesa tak pernah mendengar teriakan Kiki barusan. “Dirumah aku aja,”sahutan Rini justru menyelamatkan Kiki. Sebenarnya Kiki merasa berdosa karena selalu merasa kurang puas dengan keluargnya sendiri. Tapi harus bagaimana lagi. Kalau teman-temanya ke rumah, maka tidak ada makanan enak yang bisa dimakan teman-temannya, paling mereka hanya makan ubi jalar rebus.
Oleh karena itu juga Kiki tak pernah mau dijemput ayah ke sekolah. Ayah sering menawarkan diri untuk menjemput Kiki tapi Kiki selalu bisa menolaknya, tentu saja tidak dengan terang-terangan. Kalau ayah ke sekolah, pikir Kiki, semua teman-teman akan tahu penampilan Ayahnya tidak seperti ayah mereka. Apalagi kalau teman-teman sampai ke rumah, teman-teman akan tahu keadaan keluarga Kiki.  
***
            Kiki masih bolak balik di kamarnya, sesekali ia mengintip Ayah dan Ibu yang sedang duduk di teras. Dia masih ragu untuk menyerahkan undangan dari sekolah itu kepada orang tuanya. “Usahakan yang datang orang tua ya, kalau bisa jangan diwakilkan karena ini penting,”terngiang himbauan kepala sekolahnya tadi siang.
            “Untuk kapan undanganya ini,Ki?”tanya Ayah sambil merobek amplop yang sudah tak karuan itu bentuknya. Kiki tidak punya pilihan lain, orang tua yang datang atau rapor tidak dibagikan. Kiki tidak menjawab pertanyaan Ayah, ia masih memikirkan bagaimana cara agar bukan Ayah yang datang ke sekolah.
            “Ibu saja yang mengambil rapor, Yah,” entah ide dari mana
            “Besok Ayahkan libur, Ayah tidak pergi kemana-mana,” sahut Ibu
            “Setiap hari Ayah kan kerja. Cuma hari sabtu dan minggu Ayah yang libur. Jadi Ayah di rumah saja Sabtu ini,” ujar Kiki mencoba “membujuk” Ayah agar tidak datang ke sekolah.
            “Ya sudah. Tapi rapormu harus bagus ya,” Ayah mengerlingkan matanya kepada Kiki.
***
            Kiki pasrah dengan “keharusan” mendatangkan orang tua ke sekolah. Tapi ia tetap bersyukur ibunya yang berkesempatan hadir. Ibunya agak lebih maju dari Ayah. Ibu masih kelihatan cantik. Kata Ibu karena ia rajin olah raga, membawa jamu gendong keman-mana itu,kata ibu sehat. Kalau Ayah_menurut kiki_sama sekali tidak keren. Kulit Ayah hitam mengkilat, matanya cekung, pokok nya jauh dibandingkan Ayah teman-temanya yang lain.
            “Acara selanjutnya pengumuman juara kelas,” Kiki menatap Ibu sambil tersenyum saat mendengar suara dari microfon. Wakil Kepala sekolah menyebutkan urutan juara mulai dari kelas enam sampai kelas empat.
            “Untuk semester sekarang juara tiga di kelas empat adalah……,” Bu Upit sengaja mengulur-ulur waktu. “Hanum Putri Demanta!” terdengar suara tepuk tangan. Berlanjut ke juara kedua dan,” untuk juara pertama, diraih oleh anak kita……” Bu Upit senyum-senyum. Ia mengedarkan pandangan keseluruh isi ruangan, sesekali ia menaikan alisnya seakan-akan ia ingin berteka-teki dengan setiap mata yang ditatapnya. “Seperti biasa kita akan mendengar pidato singkat dari masing-masing juara kelas dengan tema Seberapa Bangga Aku dengan Ayahku, jadi yang juara pertama harus mempersiapkan pidato pendek tentang Ayahnya,” Bu upit masih saja mengulur-ulur waktu. Kiki mengapit tangan ibunya. Tak perlu khawatir, toh aku bukan juara kelas,bisik Kiki dalam hati.
            “Juara kita kali ini adalah……..Kiki Andria!” tanpa sadar Kiki meremas lengan Ibu, Kiki baru sadar ketika ia mendengar ibu meringgis.
            “Kepada Kiki Fitria, harap berdiri di depan,” desak Bu Upit. Kiki menatap ibu, ia melihat ada bening-bening jernih di mata ibu, Kiki tak mengerti kenapa Ibu begitu.
            “Selamat ya sayang,”Ibu mengecup kening Kiki.
            “ Tapi bu…” Kiki tak diberi kesempatan untuk melanjutkan kalimatanya. Apa yang harus Kiki ceritakan tentang Ayah?Kiki berteriak kencang tetapi hanya sampai tenggorokannya saja.
            Saking paniknya Kiki tak mendengar satupun pidato juara kelas yang lain, tiba-tiba saja sudah tiba giliran Kiki untuk “Berpidato singgkat tentang Ayah”.
            “Ayah ku seorang loper koran. Aku bangga dengan beliau karena berkat beliau semua orang di kota ini bisa membaca. Kata ayah, sewaktu kecil ia bercita-cita ingin punya toko buku, karena Ayah tidak bisa sekolah, Ayah menjadi loper koran saja. Kata Ayah membaca dapat membuat kita mengunjugi negara-negara lain sesering yang kita inginkan. Kata Ayah di koran itu ada ilmu matematika, IPS, IPA, pokoknya semua yang kita inginkan,” Kiki mengebu-gebu dengan kepolosannya. Tanpa ia sadari ternyata ia sangat mengagumi ayahnya. Sepulang dari sini ia berjanji akan menemui ayahnya, lalu memeluknya, Ayah adalah pahlawan Kiki. Suatu hari nanti Kiki pasti jadi orang besar karena bangga dengan Ayah. Ia tersenyum.
Padang, Maret 2010






Tidak ada komentar:

Posting Komentar