Sabtu, 05 November 2011

PISA

Sejak jatuh di sekolah minggu kemaren yang mengakibatkan kakiku terkilir, Mama lebih ketat menjagaku. Aku tidak boleh begini tidak boleh begitu. Kemaren, ketika aku mau melihat Mas Tio main dengan teman-temannya di belakang rumah. Mas Tio membangun tenda di pekarangan belakang bersama dua orang temannya, kata Mas Tio kegiatan itu namanya Camping. Aku penasaran Camping itu seperti apa, maka dengan kaki yang masih diseret aku turun dari kamar. Aku baru saja mencapai tangga kedua, “ Pisa, mau kemana, nak?” Mama tiba-tiba sudah berada dibelakangku, seperti biasa akan ada nasehat-nasehat panjang, ujung-ujungnya aku harus istirahat di kamar kalaupun mau keluar harus dibantu Mbak Narti.

            Aku pikir Mama terlalu berlebihan, toh hanya mata kakiku yang terkilir bukan seluruh badanku. Mama selalu begitu, dulu pernah Mas Tio ikut kegiatan sekolah yang mengharuskan Mas Tio nginap di sekolah untuk dua hari. Mama menelepon ke Handphone Mas Tio hampir setiap saat. Padahal Mas Tio sudah SMA, laki-laki lagi, begitulah kira-kira alasan Mas Tio, melarang Mama untuk tidak mengekanya. Kadang-kadang aku juga mau seperti teman-temanku yang lain. Sudah kelas lima Sekolah Dasar, harusnya Mama percaya kalau aku bisa jaga diri, begitu yang sering ku dengar dari Alice, teman satu kelasku. Alice selalu diberi kebebasan oleh orang tuanya, dia bahkan sering main ke rumahku sampai sore. Sudah lewat Magrib baru ia dijemput oleh sopirnya, itupun ditelepon dulu. Kata Alice, Mamanya tidak pernah menanyakan dia kemana, dengan siapa. Bahkan kakak Alice beberapa hari tidak pulang ke rumah orang tuanya tidak terlalu mempermasalahkan.
***
            “Kemana saja dari tadi??Kenapa baru pulang???” Beberapa hari setelah kecelakaan kecil itu aku sudah diizinkan ke sekolah lagi dengan syarat harus diantar jemput Mas Tio. Hari ini Mama sangat murka kepadaku, aku rasa. Beberapa kali ia menghempaskan nafasnya, mengusap keningnya, melihat aku nongol di depan pintu. Aku menunduk merasa bersalah karena telat pulang. Tadi aku sudah menunggu Mas Tio, tapi sudah setengah jam dia belum juga datang. Kebetulan Alice mengajak bareng. Rencana awal singgah sebentar saja di rumah Alice, tetapi entah kenapa malah enak-enakn  di rumah Alice.
            “Maaf Ma, tadi Pisa main di rumah Alice dulu,” aku masih menunduk. Mama benar-benar marah aku pulang telat tanpa memberi kabar. “Sekarang masuk kamar, ganti baju, makan siang habis itu belajar lagi.” Tanpa berfikir panjang aku lansung mengikuti perintah Mama. Mama selalu begitu padahal aku kan tidak kurang satu apapun walau sudah pulang telat. Buktinya aku baik-baik saja. Sayup-sayup ke dengar Mas Tio menyusul setelah aku, tak bisa dihindari Mas Tio juga kena marah gara-gara lupa menjemput aku.
            Di kamar setelah ganti baju, aku tidak lansung turun, aku mals-malasan di tempat tidur. Aku masih ingat tadi di rumah Alice, ketika pulang sekolah dia nggak harus ganti baju dulu, lepas sepatu boleh tidur-tiduran atau mau ngapain saja boleh. Tidak ada aturan dan omelan mamanya yang mengekangnya. Lama aku di rumahnya, kami malah asik main game terbaruya, katanya oleh-oleh dari Papanya ketika Papanya pulang dari Jepang minggu kemaren. Enak betul Hidup Alice. Kalau aku, jangankan main game pada hari sekolah, pada akhir pekan saja aku hanya boleh menonton tv sebentar.
            “Pisa cita-citanya apa?”tanya Mama  ketika aku masih TK
            “ Pisa mau jadi Guru,sama seperti tante Iis,”ujarku tersenyum
 “Guru itu harus pintar. kalau Pisa mau pintar Pisa harus rajin belajar,” goda Mama sambil menekan hidungku dengan jari telunjuknya. Aku sayang sama Mama, tapi belakangan aku sering kesal dengan Mama. Mama sudah tidak sayang aku lagi. Mamaku tidak seperti mama Alice. Alice pasti senang punya orang tua yang selalu memberi kebebasan kepanya.
“Kamu pikir senang jadi aku??!” tiba-tiba Alice berada di depan pintu kamarku.
“Mama ku tak pernah di rumah, aku dibesarkan oleh pembantu, Papa tidak pernah menjemput aku  ke sekolah. Kamu mau lihat raporku?”Alice berputar-putar di kamarku, meluapkan emosinya. Dia membolak-balik rapornya, hampir semuanya rendah, bahkan ada beberapa angka 5 bertengger manis di rapornya. Setahuku memang Alice etak pernah juara kelas, tapi kalau nilainya sampai serendah ini aku baru tahu.
“Kau lihat ini,” ia menunjuk catatan guru di pojok kiri bawah rapornya. MOHON BIMBINGAN ORANG TUA aku tak paham maksudnya. “Orang tua ku tak pernah membimbing aku. Mereka tak pernah marah, ketika aku tak belajar,”ia meringis.
“Sementara sekarang kamu malah ingin jadi aku. Kamu pikir enak,”ia menuding hidungku. Aku tak percaya kenapa ia tiba-tiba begini. Tadi di rumahnya ia baik-baik saja. Sebelumnya ia tak pernah seperti ini, sekasar ini. Lagian kenapa ia bisa ada di kamarku. Alice tiba-tiba memegang kepalaku dengan kedua tanganya. Aku dipaksa masuk ke dalam kehidupanya. Sangat mebosankan, menghabiskan waktu dengan main game, di rumah sendirian, makan sendiri, rapor selalu mengecewakan. Aku berusaha keluar dari suasana itu. Alice seakan menyihirku. Aku meronta, aku ingin keluar, aku ingin Mama. Aku meronta sekuat tenaga.
“Kecapek an ya sayang?” tiba-tiba aku melihat Mama. Aku tak melihat Alice. Tidak ada Alice di kamar. Aku berada di rumahku, di kamarku bukan di rumah Alice, di sini ada Mama. Mama masih menatapku heran. Badanku basah oleh keringat. Aku ketiduran. Aku mimpi buruk. Aku nggak ingin hidup seperti Alice. Aku ingin Mama yang cerewet, aku tak mau melepaskan juara kelasku.
“Kenapa sayang?Pisa demam?” Mama meraba keningku. Aku menyesal dengan semua yang telah aku lakukan apa lagi hari ini.
“Pisa sayang Mama,” Aku melompat ke pelukan Mama. Mama mengelus rambutku yang berantakan.
“Maafkan Pisa ya, Ma,”tiba-tiba aku sudah menangis. Mama pasti heran. Aku sanagt menyesal,aku harus bersukur dengan apa yang aku punya, begitu selalu nasehat Ibu guru di sekolah.






























Tidak ada komentar:

Posting Komentar