Sabtu, 05 November 2011

Uang Tabungan Loli

Loli tidur-tiduran sambil tengkurap. Sesekali ia mengangkat bantal guling dengan kaki mungilnya, kadang-kadang ia menyelipkan rambutnya ke telinga ketika ia merasa terganggu dengan ujung-ujung rambut itu. Matanya menatap ke atas meja belajar. Berbinar-binar. Tiga toples sudah hampir penuh denegan uang receh. Loli senyum-senyum sendiri sambil mengira-ngira jumlah masing-masing toples.

            Tiga toples itu bertuliskan tiga nama yang berbeda, masing-masing;Sepeda, Liburan, Sosial. Dua tahun yang lalu, ketika Loli masih kelas dua Sekolah Dasar, Ibu Guru Mufti menyuruh semua anak menabung dalam toples bening, toples itu berjumlah tiga buah. Masing-masing toples diberi nama sesuai dengan keinginan. Ketika itu Ibu Mufti menanyakan kepada masing-masing anak keinginan mereka, itu Loli menjawab ingin beli sepeda. Bu Mufti menyarankan agar tidak selalu merengek meminta kepada ornag tua, walau orang tua mapu untuk membelikannya. “Sepeda itu akan lebih nyaman, kalau kamu beli dengan tabunganmu sendiri,” ujar Ibu Mufti ketika itu. Selanjutnya beliau bertanya, apa tempat yang ingin kami kunjungi. Setiap anak memiliki tempat tujuan yang berbeda-beda. Maka ibu Guru yang baik hati itu menyuruh memberi merek toples dengan liburan. Terakhir Ibu Mufti menyuruh agar siswanya juga berbagi denegan orang lain. “kita ini makluk sosial, suatu hari nanti kita harus bisa menolong sesama. Tidak peduli berapa besar yang kita berikan, yang penting kita ikhlas,” waktu itu Loli tak paham apa arti ikhlas hingga sekarang.
            Setelah dua tahun berlalu Loli masih belum membongkar celengan dari toples itu. Sekarang toples seukuran akuarium kecil itu sudah hampir penuh. Loli berkhayal ia akan membeli sepeda. Kalaupun uang itu tidak cukup ia bisa minta tambah uang kepada Papap, Papa pasti mau. Karena liburan kemaren Loli sudah jalan-jalan ke tempat yang ia inginkan, jatah toples liburan itu akan ia tambahkan untuk membeli sepeda baru. Tapi bagaimana cara menggunakan toples Sosial itu? Alis Loli berkerut. Diberikan ke Si Mbok saja, pikirnya tersenyum. Air mukanya berubah, Si Mbok kan sering di kasih Papa atau Mama duit, pasti dia tak butuh lagi.Loli mengeleng-gelngkan kepalanya. Masih bingung. Ia menarik selimut yang sudah acak-acakan di ujung kakinya, Loli memilih tidur. Besok tiga toples itu akan dia hitung.
***
            Minggu pagi Loli bangun dengan girang, pasalnya hari ini ia berencana akan membongkar celengan toplesnya, Kek Eci berjanji akan membantu. Setelah mandi lalu Loli sarapan bersama Mama, Papa dan kak eci. Usai sarapan, Loli menarik tangan Kak Eci ke kamarnya.
            Beberapa saat satu toples sudah ditumpahkan di atas kasur Loli. Mereka sepakat yang pertama yang akan dibongkar adalah toples Sepeda. Ada berbagai jenis uang receh, dari pecahan seribu hingga pecahan seratus perak. Tap kebanyakan pecahan seribu dengan pecahan liama ratus rupiah. Mereka menghitung tanpa suara, sesekali terdengar dengusan Loli karena uang receh seratus yang sudah disusun seribu rupiah jatuh terserak lagi. Hampir sejam lebih, baru toples pertama yang berhasil mereka selesaikan. Loli tersenyum ketika Kak Eci menyebutkan nominalnya. “ Dua ratus delapan puluh tiga ribu empat ratus. Kamu bisa bei sepeda gunung kalau ditampah Papa lagi,”ujar kak Eci menggoda loli.
            “Tiga ribu empat ratus ini, buat kakak aja. Karena sudah ngebantuin Loli ngitung” Loli mendorong recehan itu sambil megedipkan mata ke arah Kak Eci. Kak Eci menggembungkan pipinya lalu memonyongkan bibirnya.
            “Nggak perlu, kakak ikhlas kok bantuin kamu,” sahut kak Eci. Ikhlas?lagi-lagi Loli mendengar kata-kata iti tapi Loli malas untuk bertanya. Lalu Kak Eci membantu Loli mengangkat toples yang lain. Sampai siang baru selesai hingga toples ke tiga. Dari toples Sepeda, liburan,Sosial, masing-masing memiliki nominal berbeda; Rp. 283.400,-,Rp. 252.500,-,210.000,-. Kak Eci membantu menuliskanya pada sebuah kertas. Masing-masing uang receh itu telah di masukan ke dalam plastik bening, besok Kak Eci sambil pergi Kuliah akan menukarkannya dengan uang pecahan yang lebih besar, di bank di depan kampusnya.
            Udara September begitu lembab, setelah letih menghitung mereka tertidur, merek mengantuk karen hembusan angin dari jendela kamar Loli yang terbuka. Di dalam tidurnya Loli bermimpi ia telah menaiki sepeda barunya. Bermain-main dengan Putri, Dino, Sita dan Leri . Ia terbangun ketika Mama dengan wajah panik masuk ke kamar Loli dan membangunkan kakak beradik itu. Mereka baru saja merasakan goncangan yang kuat.
***
            Sudah malam kedua setelah kepanikan Mama di kamar Loli. Kini, Loli duduk di pelukan Papa, rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja. Mama duduk di samping Papa sambil memeluk tangan kirinya,sementara jari-jari kanan Mama sesekali mengusap dagunya sendiri. Kak Eci duduk di tangan kursi. Suasana masih diliputi ketegangan. Mata mereka menatap televisi.
            “Sejak dini hari hujan mengguyur Padang. Aliran listrik masih belum menyala. Bahkan jaringan teleponpun masih belum berfungsi dengan baik. Jumlah korban masih bertambah. Masih ada beberapa tempat yang belum bisa diakses karena terdapat beberapa titik lonsor, yang mengakibatkan jalan putus,” reporter TV itu memakai jas hujan ketika menyajikan beritanya. Loli masih bisa memeluk Mama, Papa atau Kak Eci ketika gempa itu datang. Karena Loli tinggal di Pekanbaru, Riau, jadi getarannya tidak menimbulkan kerusakan yang banyak. Sementara di Padang, sumatera Barat tidak hanya kerusakan bangunan tetapi juga lonsor dan banyak korban jiwa. Mama berkali-kali merigis melihat korban-korban yang ditemukan.
            “Anda bisa menyalurkan bantuan anda melalui GemTv Peduli Sumbar. Dengan mengirmkan ke rekening 1230 15246 1230 12 0. a.n Peduli Sumbar” begitu tulisan yang tertulis di layar TV di rumah Loli. Loli mengurai tangan Papa yang memeluknya, lalu ia turun dari pelukan Papap tanpa mengatkan apapun Loli berlari ke kamarnya. Papa dan Mama saling menatap.
            “Kemana sayang?” teriak mama ketika Loli sudah menaiki tangga ke kamarnya.
            “Loli kekamar dulu sebentar,” loli menyahut.
            Selang beberpaa saat Loli kembali ke ruang keluarga. Semua ornag menatap heran padanya. Dengan suisah payah, ia menyeret-nyeret tas tenteng dibelakangnya. “ngapain kamu?ini apa yang dibawa?”mama menyusul Loli.
            “ Lihat deh pa.” panggil mama karena dari tadi papa tetap di tempat duduknya. Papa beranjak bangun. Mereka semua memeriksa isi tas Loli. Ada tiga kantong plastik uang receh, sudah di kasih nama dan jumalh nominal masing-masing kantong.
            “Belum jadi kak Eci bantu nukarin?” kata papa beralih melihat Kak Eci. Kak Eci samapi lupa karena beberapa hari ini masih terkeju karena gempa.
            “Iya pa, besak Eci bantu nukarinya ya. Soalnya kemaren Eci lupa,”jawab Kak Eci sambil Menggaruk kepalanya.
            “Besok biuar papa yang ngantar Kak Eci nukarinnya ke Bank ya sayang,” Papa sudah menopang badanya dnegan lutut untuk mensejajari Loli.
            “Duitnya nggak usah di bawa pulang, Pa,” ujra Loli. Papa menautkan alisnya.
            “ Papa lansung kirim aja ke GemTv Peduli Sumbar. Kak Eci catat yang nyatat no rekeningnya ya. Soalnya Loli lelet nulisnya,” Loli tersenyum malu, gigi ompongnya menyeringai. Sesaat terlintas sepeda baru dalam benaknya. Tapi dia harus ikhlas.Ups!loli harus ikhlas?memangnya Loli tahu arti ikhlas?
            “Bukanua Loli mau beli sepeda dengan duit sendiri?”tanya Mama.
            “Nggak jadi. Duit ini buat korban gempa saja. Mereka pasti butuh. Loli ikhlas kok mggak jadi beli sepeda baru,” tak ada yang menyela penggunaan kata ikhlasnya berarti penempatanya benar. Mama, Papa dan Kek Eci tiba-tiba memeluknya.[]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar