Sabtu, 05 November 2011

KEMAAFAN DI AWAL RAMADHAN

Suara muazin nyaring terdengar dari corong masjid yang menghadap ke gang Nuri. Pertanda waktu shalat isya telah masuk. Halimah- ibu dua anak yang tinggal di ujung gang telah siap dari tadi. Adriyan si bungsupun telah siap dengan peci dan sarung rapi, tapi tidak begitu halnya dengan Sonya. Ia  masih saja mondar-mandir diteras depan. Hanya dengan  cahaya lampu 5watt yang menerangi teras, wajahnya jelas terlihat cemas, sambil sekali-sekali melihat ke ujung gang.
            Azan isya selesai, Halimah dan Adriyan sudah berada di mulut pintu depan. “ Lho, kok Onya masih belum siap?”tanya Halimah menatap Sonya heran. Biasanya awal ramadhan Sonya yang paling bersemangat. Tapi hari ini Sonya sama sekali terlihat tidak bersemangat bahkan mengkhwatirkan sesuatu. Berbeda sekali dengan Adriyan, dia hanya manyun-manyun sambil memperbaiki sarungnya yang selalu lepas karena perutnya yang buncit. Saking bersemangatnya Adriyan kecil malah telah siap dari habis magrib tadi sore. Sonya masih menatap ujung gang, lalu beralih ke ibunya.” Ibu duluan aja, ntar Onya susul ya,” di pegangnya bahu wanita separuh baya itu, sambil meyakinkan. “tapi…” belum selesai Halimah dengan kalimatnya Sonya sudah menghampiri Adriyan. “ Iyan, temani ibu ya, ntar kak Onya nyusul,” senyum penuh arti ia hadiahkan untuk ibunda tersayangnya, meyakinkan kalau dia baik-baik saja karena jelas sekali tersirat di wajah Halimah kalau dia bingung sekaligus khawatir. Satu jam berlalu Sonya masih mondar-mandir, duduk dan berdiri lagi di teras depan.
***
            “ Sesungguhnya amal seseorang hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah salat. jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berasil dan jika salatnya rusak sungguh ia akan merugi,” ustad Salim yang memberikan tausiyahnya hari ini mengutip salah satu hadist dengan penuh semangat, betapa salat itu penting. Halimah hanya termenung, tadi ketika salat isya ia benar-benar tidak khusuk. Ia kepikiran dengan sikap Sonya tadi pas akan berangkat ke mesjid. Tidak biasanya anak perempuan satu-satunya itu menyimpan sesuatu yang ia tidak ketahui sama sekali. Halimah benar-benar tak habis fikir, apa gerangan yang tengah di lakukan Sonya. Hingga acara wirid berakhir dan ada instruksi dari imam bahwa salat tarawih akan segera dimulai, Halimah masih saja terpaku dan kelabakan untuk segera berdiri dan siap untuk salat tarawih perdananya.
***
            “ Akhirnya…” desis Sonya dalam temaram lampu 5watt.
            “ Maaf, aku telat, tidak menepati janji,” ujar seorang laki-laki yang menepuk-nepuk kaosnya yang terkena tempias hujan gerimis. Sonya menatap sosok itu penuh haru.
            “ Kamu sudah sampai saja sudah alhamdulillah,mas,” Sonya meraih tas pemuda itu. Dan lansung membawnya ke dalam. Sang pemuda berkulit gelap itu lansung menyusul langkah Sonya.
“ Sebentar aku buatkan teh hangat ya,setelah itu kita lansung pergi,” Sonya lansung ke dapur. Pemuda itu masuk kamar dan keluar dengan pakaian yang sudah kering dan rapi. “ Kamu nggak salat tarawih?”
            “ Tadi Adriyan sama ibu mendesak ku, tapi aku bilang aku akan nyusul mereka,” teriak Sonya dari dapur. “Tapi karena mas datangnya telat, terpaksalah aku tak jadi menyusul mereka,” Sonya datang dengan teh hangat yang megepul. Sonya yakin semua ini akan terlaksana dengan baik. Dia tersenyum kecut.
            “ Habis ini kita lansung pergi?” tanya pemuda itu sambil menghirup teh hangatnya.
***
            Karena hujan tak telalu lebat, hanya gerimis, Halimah dan Adriyan lansung pulang setelah salah tarawih dan witir selesai di laksanakan. Tapi ketika sampai di rumah pintu rumah terkunci. Dia terkejut, tadi di mesjid dia sama sekali tak menemukan Sonya tapi kenapa rumah dikunci. Halimah lansung menghampiri pot bunga yang berada di sebelah kanan pintu depan, lalu meraba sesuatu yang di himpit pot itu, seperti biasa kunci rumah selalu disimpan bibawah pot kalau ad a yang pergi keluar.
            “ Kak Onya kemana,Bu?” tanya Adriyan yang telah menyandang sarungnya.
            “ Ibu juga nggak tau, mungkin ke mesjid juga kali. Cuma kita nggak ketemu,” mereka sudah masuk kedalam rumah. Dia melepas mukhenah dan sarungnya, melipatnya dan juga sarung Adriyan.
            “ Teh? Memang ada tamu?” Halimah lebih terkejut lagi karena sisia teh yang ia lihat diruang tamu, masih meninggalkan asap. Halimah menoleh ke rak sepatu. “Romi…” desisnya, persisi berbisik.
            Perasaanya semakin aneh, ia melangkah ke kamar belakang. Ia melihat tas ransel besar dan ia yakin itu pasti milik Romi, ransel hitam-merah itu tersandar dekat meja belajar. Perasaan Halimah semakin tidak enak, kalau benar Romi yang datang mengapa mereka lansung pergi?kemana?kenapa tidak menunggu ia dan Adriyan pulang dulu? Berbagai pertanyaan menari-nari di kepala Halimah, sementara si bungsu Adrian sudah tidur di sofa ruang tamu.
***
            “ Kapan kau sampai?” tanya laki-laki yang duduk diseberang meja
            “ Beberapa jam yang lalu, awalnya aku tidak mau pulang tapi Sonya memaksaku,” diam menyelimuti beberapa saat. Laki-laki tua itu yang bertanya terbatuk batuk. Tubuhnya sudah terlalu tua. Ia harus berpisah dengan istrinya karena tidak meiliki persamaan pendapat dalam pengasuhan anak. Istrinya ingin putra sulungnya menjadi melanjutkan ke perguruan tinggi setelah tamat SMA, tiga tahun yang lalu tapi ia bersikeras anak laki-lakinya sebaiknya bekerja saja. Entah karena terlalu emosi, entah setan mana yang menghinggapi dirinya. Karena istrinya membantah keinginanaya, ia meninggalkan rumah. Anak laki-lakinya pun, tak tahu harus berpihak kemana, akhirnya ia meninggalkan rumah memilih kuliah dengan biaya sendiri di luar kota.
            “ Ibu mu pasti kawatir tak mendapatimu di rumah,” suaranya berat berkata pada Sonya.
            “ Kekhawatiran ibu akan membaik, jika kami berasil membawa ayah pulang,” Sonya berkata sambil mencongkel-congkel meja tamu di depanya.
            “ Jadi ibumu yang menyuruhmu ke sini?” suaranya semakin dingin
            “ Ibu tidak tahu sama sekali bahkan kepulanagkupun ibu tidak tahu,” Romi membela Sonya.
            Laki-laki tua itu mengembuskan asap rokoknya. Pikiranya melayang jauh, hanya karena emosi sesaat ia dan istrinya harus berpisah, parahnya lagi hanya karena keegoisanya sebagai kepala keluarga. Besok ramadhan pertama kan di mulai, dan ia masih disini. Sekarang Romi dan Sonya datang menjempunya untuk bersama lagi. Tak bisa ia pungkiri ia sangat merindukan keluarganya, anak-anaknya. Haruskah ramadhan tahun sekarang berlalu sama seperti ramadhan tahun lalu?
            “ Adriyan sering menanyakan Ayah, tapi Ibu tak pernah menjawabnya, malah mengalihkanya kepada hal lain dan ia akan berlari ke kamar mandi, selalu tak lama setelah itu aku mendengar isakan,” suara Sonya memecah kesunyian
            “ Rasa rinduklu pada ibumu, melebihi ke egoisanku pada hari kepergian Romi ke luar kota,” jawab lelaki tua itu sambil mematikan rokoknya dan beranjak dari tempat duduknya.
***
            Dua jam telah berlalu, tapi Sonya belum juga pulang. Suara tadarus dari corong mesjid masih terdengar sayup-sayup sampai karena di kalahkan oleh suara hujan. Halimah khawatir, kalau-kalau Sonya kenapa-kenapa. Tapi ia yakin tas hitam-merah yang tersandar di kamar itu adalah tas Romi. Setelah tiga tahun pergi, akhirnya dia pulang juga, pikir Halimah. Halimah sama sekali tak menyalahkan Romi, pilihanya untuk bergi hanya karena tidak ingin berpihak pada salah satu orang tuanya saja. Besok ramadhan pertama dan Halimah benar-benar merasakan nikmatnya, walau perasaan khawatir menyelimutinya dengan sangat malam ini.
            Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanya. Setengah berlari ia menuju pintu, di sambarnya kunci di samping televisi. Adriyan masih tertidur di atas sofa. Haliamah belum sempat memindahkanya karena saking kwhawatirnya dengan Sonya.
            Pintu terbuka, tiga sosok seakan menunggu antrian untuk memasuki rumah, namun malah terpana karena Halimahpun terpaku. Romi menatap Sonya. Sonya hanya geleng kepala.
            “ Ibu apa kabar,” Romi lansung meraih tangan Halimah, air mata menggantung di mata perempuan itu. “ Maafin Omi ya, bu” ia mencium tangan ibunya. Tak mampu rasanya ia menahan lagi air matanya. “ Mas..” lirih ia memanggil nama orang yang paling ia hormati itu. “ Maafkan aku, ya” Halimah lansung memeluk laki-laki yang sekarang ada di depanya, laki-laki yang selalu di tanyakan Adriyan. Sonya menghapus air matanya yang sudah ia tahan sedari tadi.
            “ Ayah datang dengan maaf. Terima kasih Tuhan,” syukur ia ucap dalam hati. Ramadhan kali ini akan benar-benar sangat berbeda untuknya Sonya dan keluarganya, esok setelah idul fitri semua akan kembali kepada hari yang tak biasa.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar