Sabtu, 05 November 2011

HANDAYA

Daun-daun menatap sinar matahari pagi. Tak lama lagi daun-daun itu akan kembali kering karena sinar matahari akan menyapu embunya. Syamsir dan istrinya duduk di beranda depan rumah. Usai shalat subuh pasangan suami istri ini selalu menunggu pagi mulai agak cerah untuk berangkat ke kebun atau ke sawah. Di umur mereka yang sudah mencapi kepala enam, mereka masih saja harus bekerja untuk melanjutkan hidup. Untuk sekedar membeli ikan asin dan lauk untuk makan malam dan kopi untuk minum mereka menunggu pagi. Dua orang anaknya sudah pergi merantau. Anak pertamanya, Handaya seorang guru SMA di kota sudah jarang pulang, dulu masih sering berkirim uang ke kampong untuk orang tua mereka tapi sekarang sudah jarang boleh di katakan tidak pernah lagi.
Handaya sudah punya anak sehinnga alasan mengirit uang selalu ia utarakan ketika orang tuanya menyuruh pulang untuk sekedar melepas rindu atau ada sesuatu keperluan yang harus di urus. Karena Handaya anak sulung Syamsir yang bisa mengurus setiap ada keperluan di keluarganya. Karena Syamsir tidak memiliki anak laki-laki. Dulu pernah ada satu ornag anak laki-lakinya, nuamun meninggal dunia karena panas tinggi dan terlambat membawa kerumah sakit. Sementara anak keduanya yang juga perempuan, Salami, seorang opoteker juga tidak pernah pulang lagi. Kalau pun ada haya sekali setahun saja. Itu pun waktu lebaran. Syamsir dan istrinya tak pernah menutut anak-anaknya untuk membalas dharma mereka selama ini. Toh anak-anak adalah titipan dari Tuhan yang ia dan istrinya wajib memelihara dan membesarkannya. Syamsir juga tak menyalahkan anaknya.
            “Tuhan tidak mewajibkan mereka untuk membalas jasa-jasa kita kan buk?”begitu tempo hari Syamsir berkata kepada istrinya, setiap istrinya mengeluhkan kenapa anak-anak merka seolah melupakan mereka.
            Syamsir beranjak masuk ke dalam rumah, sesaat ia sudah berganti pakaian dengan pakain dinasnya untuk ke kebun. Sepatu boot, topi anyaman seperti kerucut tapi agak lebar yang terbuat dari anyaman bamboo, celana panjang yang lusuh dan baju panjang yang sudah penuh tambalan. Nida-istrinya-pun mempersiapkan segala sesuatu. Bekal untuk makan siang dan peralatan tani mereka.
Jalanan masih lembab, mereka menyusuri jalan setapak menuju kebun mereka di seberang sungai. Tidak lama lagi jagung-jagung ini akan di panen. Rencananya, hasilnya akan mereka pakai untuk ongkos ke kota. Mereka ingin sekali bertemu Handaya dan cucu mereka. Untuk mengunjungi Salami mungkin pada panen selanjutnya karena sekali panen hanya cukup untuk ongkos ke kota sementara Salami tinggal di Luar Kota, tepatnya di Riau.
            “Pasti semalam babi-babi hutan itu masuk ke sini ya,pak,” keluh Nida ketika melihat tongkol-tonkol jagung sudah banyak berserakan. Jelas bekas di makan babi hutan.
            “Mungkin Cuma segini yang untuk kita,Buk”jawab Syamsir sambil menebas batang jagungnya satu-satu.
            Menjelang siang merka sibuk mengumpulkan hasil panen mereka dan mengankut batang-batang jagung itu ke tepi kebun. Hingga sore pekerjaan yang sangan melelahkan bagi merka- untuk orang yang sudah tua- baru selesai.
***
            Kabut menyapu jalananan. Orang-orang sibuk denga urusan masing. Suasana terminal gerah dan bising. Dua orang pasangan suami istri denga susah payah membawa bawaan mereka, berebut bersama penumpang lain. Walupun tiket sudah di beli tetap saja untuk naik menuju tempat duduk, para penumpang berebut. Syamsir dan istrinya akhirnya sampai juga di atas bus. Duduk di barisan ke dua di belakang supir. Bawaan mereka di letakan diatas balcon di belakuang sekali-sekali mereka menengok ke belakang, melihat kalau-kalua barang mereka terbawa oleh penumpang lain yang turun di jalan.
            “Sudah seperti apa ya Handaya sekarang” ujar Nida Kepada suaminya.
            “Entahlah..terakhir kali kita melihatnya dua tahun yang lalu, aku rasa tidak ada perubahan yang berarti” jawab Syamsir sambil mengusap keringat di kening dan hidungnya.
            “Kau ingat tidak ketika dia mau kuliah dulu”lanjut Syamsir. “kita menjual cincin pemberian ibumu untuk membeli formulir pendarftaran untuknya,”kenang Syamsir. Istrinya hanya diam menatap rumput rumput dan rumah-ruamh di tepi jalan yang berlari seolah meninggalkan mereka.
            “Tak ku sangka kita sanggup menguliahkanya, di universitas ternama. Aku tidak pernah membayangkan dia akan jadi orang mengingat betapa sulitnya perekonomian kita,”suara Syamsir melemah dan bergetar.
            “Dan dia pernah berjanji akan membawa kita naik pesawat kalau dia sukses nanti,”sambung Nida. Matanya berkaca-kaca. Nida terharu mengenang masa-masa ia menyekolahkan Handaya. Betapa susahnya perjuangan mereka hingga Handaya lulus pun perjuangan masih berlanjut, yaitu menyekolahkan Salami adik Handaya. Bahkan ketika Handaya menjelang wisuda Syamsir menjual sawahnya yang empat petak, untuk biaya skripsi, Praktek mengajar dan pendaftaran wisuda di tambah dengan uang SPP. Dulu Handaya pernah berjanji akan membawa orang tuanya naik pesawat. Karena Nida bercerita kepada Handaya betapa menyenangkanya naik pesawat. Nida mendengarnya dari Etek Baini tetangga sebelah ruamhnya.
            “Kau tau tidak, kata si Baini, air dalam gelas saja tidak melenggang diatas pesawat,” cerita Nida waktu itu kepada Handaya. “Baru satu jam lebih jam si Baini sudah turun lagi,” Handaya hanya diam ketika itu. Ia menatap ibunya dalam-dalam.
            “Aku janji kalau aku sukses nanti kan ku bawa ibu naik capung besi itu. Ibu berdo’a sajalah untuk keberasilanku,”janji Handaya waktu itu.
            “Panen tahun depan kita ke tempat Salami ya, Buk. Mudah-mudahan panen kita sukses lagi,”harapan yang keluar dari mulut Syamsir membuyarkan ingatan Nida akan masa lalunya. Nida hanya menganguk dalam hati ia juga berharap yang sama dengan suaminya.
            Bus melaju kencang. Ketenangan desa tertinggal. Mereka di sambut oleh gedung-gedung yang indah dan hiruk pikuknya desa. Tak terasa mereka sudah hampir  dua jam diatas bus. Udara semakin terasa gerah.
            “Minang,Minang….” Teriak kondektur bus yang mereka tumapngi. Para penumpang bergerak turun satu persatu.
            “Minang habis yo!”teriak kondektur lagi. Syamsir dan istrinya bingung kenapa orang orang turun semua. Sedangkan dia merasa belum sampai.
            “Sudah samapi Aia Pacah Ya, nak” Tanya Syamsir kepada pemuda yang dari tadi berdiri di samping kursi mereka. Tapi ia juga sudah bersiap-siap mau turun.
            “Bus sudah lama tidak lewat Aia Pacah,Pak”jawab pemuda itu sambil berlalu.
            “Bapak mau kemana?”Tanya kondektur yang sudah berada di samping mereka.
            “Ke Lapai. Tetapnya di jalan Rambutan” jawab Syamsir sambil menyoderkan alamat yang di tulis di atas kertas yang sudah kusam.
            “Bapak naik mobil Kuning ini saja. Tanya yang mau ke Lapai” saran kondektur sambil membantu menurunkan barang bawaan Syamsir dari bus.
***
            Mengikuti saran sang kondektur muda tadi akhirnya Syamsir sampai juga di Lapai. Ia baca lagi sebuah papan menggantung di mulut jalan kompleks itu. Di situ tertulis Jln Rambutan. Syamsir tidak munghkin salah. Ia menatap istrinya. Matanya berkaca-kaca seolah-olah ia mengatakan kita akan bertemu dengan Handaya.
            Keringat mengaliri dahi Syamsir yang keriput dan hitam. Sekali-sekali ia mengapusnya dengan tanmgannya yang kasar dan hitam juga. Nida, istrinya, sudah kelihatan lelah sekali. Tapi lelahnya di kalahkan oleh rasa rindu yang amat sangat-nya kepada putri sulungnya. Handaya akan menyambut mereka dengan gembira dan mereka pasti akan terkejut karena Syamsir dan istrinya tak memberi tahu akan mengunjungi mereka di Kota.
            No.3B tertulis di sebalah kanan gerbang ruamah itu, ruamah yang sesuai dengan alamat yang ada di kertas yang di pegang Syamsir. Sumringah suami istri itu saling bertatap.
            “Ibuk sedang pergi ke luar kota bersama Bapak dan anak-anaknya,” ujar wanita setengah baya yang membukakan pintu setelah Syamsir beberapa kali mengetuk pintu. Sesaat Syamsir dan istrinya termangu.
            “Untuk berapa lama” Tanya Nida
            “Kalau saya tidak salah dua minggu, mereka sekeluarga pergi berlibur,” tiba-tiba dada Nida begitu sesak. Ada sesak yang meneyeruak. Pilu. Hatinya tersayat, pedih hingga membuat matanya berair. Terakhir Handaya menelepon ketika Nida mengatakan ingin bertemu dengan putri sulungnya itu Handaya mengatakan, dia harus mengirit uang karena anaknya akan bersekolah. Handaya juga mengeluhkan kondisi ekonominya yang sulit. Gaji pegawai yang sedikit lah. Tapi hari ini ketika orang tua yang telah mengandung dan membesarkanya datang, orang yang ada di rumahnya-Nida tak tahu mereka siapa, mungkin pembantu anaknya_mengatakan kalau Handaya pergi berlibur. Dari mana Handaya mengadopsi budaya  berlibur itu. Uang yang ia keluarkan tetulah lebih banyak dari pada mengunjungi Nida dan Syamsir di kampung. Tak terkecuali Syamsir, ia benar-benar kecewa. Sia-sia saja ia dan istrinya ke Kota.
            “Datang saja dua minggu lagi,” perempuan setengah baya itu menutup pintu.
            Suasana kota semakin terik. Kaki Syamsir yang pecah-pecah karena keseringan memakai sepatu boot dan berjalan jauh terasa perih sekali. Tapi jauh di relung hatinya jauh lebih perih lagi. Dalam hati ia berjanji tidak akan mengharap apa-apa dari cinta yang pernah ia semai dulu karena itu hanya akan sia-sia. Ia menatap istrinya untuk ke sekian kalinya.
            “Tidak juga kepada Salami,”sahut istrinya seolah paham maksud tatapan suaminya. Mereka melangkah keluar gerbang rumah mewah itu. Sementara di balik gorden di dalam rumah menatap nanar seorang perempuan muda. Yang tak lain adalah Handaya.
Padang, Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar