Senin, 18 April 2011

Kepagian
Agak kepagian aku berangkat
Aku memang selalu dikalahkan, tapi tidak oleh pagi
“Sudah di jalan”, senyumku ku tahan membaca pesanmu
Awan menggantung udara lembab, daun-daun yang gugur, berlari bergerombolan
Baru saja aku sampai, kau datang memelukku
“Parfum baru lagi”, desahmu Aku hanya tersenyum
Belum, aku belum sampai pada tempat dimana kita berjanji.
Agak kepagian aku berangkat
Selalu begitu, hatiku selalu menimbulkan suara dari denting-denting gelas Setiap kali akan bertemu denganmu
Aku sudah sampai tapi kau masih belum ada
Selalu begini, kepagian aku
Di depan mesjid tua ini detik demi detik berdendang
Menit mengendap
Lalu aku menyulut rokok
Memesan kopi dan menulis sajak untukmu
Ya, keterlambatanmu selalu membuat aku bisa berbicara
pada langit
pada daun-daun yang bergoyang ditiup angin
Lalu berlalu, kau tak kunjung datang
Aku berhenti menggores, ada bisu dan kelam yang menghampar
Tempias membasahi ujung sepatuku, hingga sore itu kau tak pernah datang
Bagi perempuan: menunggu adalah perekatnya Kira-kira begitu bunyinya
Begitu sederhana tapi menggetarkan
Aku memilih untuk jadi perekat
Gajah, Februari 22, 2010
Perjalanan
Esok adalah hari perjalananku sebagai kuli
Aku akan berjalan mencari ladang
Sudah lama gelar ini kutimang-timang
Walau kadang mereka mencoba menghancurkannya
Namun ada kepingan merah muda yang ku raih
Bukankah kuli adalah suci?
Membasuh pecah batu dengan keringat sendiri?
Dulu hanya pena yang meliuk-liuk, bagaikan penari perut Tajam meruncing mengendus semua sudut
Tak ada arti percakapan kita
Dari ruang sempit ke ruangan sempit yang lain
Kadang kita memuntal-muntal mimpi bersama Di bekas gedung tua di sebelah pojok dekat tangga
“Jadi penyair saja”, ujarmu
Bukankah penyair juga berkuli dengan kata dan makna
Hah… begitulah geliat takdir, menggeliat-geliat liar
Mengendus telinga siapa yang dia inginkan
Ini bukan penghiatanan
Esok tetap perjalananku sebagai kuli
Gajah, menjelang 27 Maret 2010
Kapuk
Aku hanya ingin bercerita
Tentang malam yang berpeluh
Tentang pagi dengan bunyi-bunyi
Bunyi yang datang dari dada yang melepuh
Lalu berlahan ada bantal yang melayang
Bertabur kapuk lapuh
Sebuah tepukan lembut
memukul punggung
“Bangun, matahari mengajak bermain”, ujarku
Kau masih juga tertidur
“Bangun”,
aku melesat ke bawah tempat tidur
Kau menyusul
Lalu ada bunyi yang mulai tak teratur
“Kurang ajar”, ujarmu kasar
Lalu belahan ada temukan keras
Memukul punggung
Mei 2010
20 Juni
: khiky A. P
Aku berusaha mengeja tangismu
Ada mata merah seiring air
Dibalik jari tangan yang menutup mukamu
“aku menyesal”, rintihmu
pada denting waktu yang telah kau biarkan berlalu
Entah suara siapa yang menyeretmu
Hingga kini kau tepat berada dihadapanku
Dengan sesal
Dengan cerdas yang menimbulkan maag aku
Selalu lupakan!!!
Ada sejarah panjang yang baru saja akan dimulai
Mengayuh perahu usia yang terus menggali kubur
Aku selalu curiga
Pasti ada dupa dan mantra-mantra
Selalu begitu
Ada getar akan kecemasan
Selama lebih 24 tahun
Kita menunggu
Akhirnya sampai pada waktu
Dimana bibirmu adalah candu
Baumu adalah mantra penyamun
Entah untuk berapa kali 20 juni
Kita akan terus mencabuti uban
“Ia merengkuhku ketika gelap menyapu mataku
Lalu ia menutup telingaku
Ketika hujan mengentak-entak
Di atap rembia loteng,” kenangku pada anak cucu kita suatu hari nanti
“nenekmu takut akan gemuruh hujan dan gelap”, selamu
Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar