Jumat, 22 April 2011

Waktunya

Ruangan itu terasa semakin dingin. Aku kembali menarik selimut tipisku ke dada. Telepon gengngamku masih melekat di telinga.
            “harusnya kau juga segara melakuknya. Jangan menunda-nunda,tidak baik,” ia mendesah. Desahanya itu seolah menggambarkan kalau ia sudah melepas semua asanya. Ia akan segera melakukanya. Hidup mungkin memang seperti antrian mobil angkot. Trip terpenuh akan berangkat duluan. Segala kemungkinan masih berpintu sekarang. Ia membantalkan niatnya atau aku ikut denganya.
            Bagiku dua-duanya tentu bukan solusi. “ beragam pesta telah ku datangi, dan aku sudah bulat untuk ini,”
“kau yakin?”
“ya, dia lelaki terbaik. Bahkan bangun tengah malam hanya untuk menunaikan yang tertunda disiang hari.” Tawanya serak, karena masih terlalu pagi.
“sudah sammapi mana persiapannya?” aku kembali menarik selimut. Ku merasa dingin semakin mengigit.
“semalam hantaran,” aku bisa pastikan. Mata sailor moonnya berbinar.
“Jakarta itu jauh. Lebih banyak perempuan yang hidungnya lebih mancung darimu,” aku berusaha tersenyum.
“ini terlalu pagi. Bukan waktunya membuat kenangan,”
Aku kembali teringat, ketika tanpa celana ia lari terbirit-birit kemudian memagang kaki ku. Tetapi hari ini ini dia menelfon bukan utnk membicarakan kenangan kami. Tapi masa depan kami. Tapi akau tak begitu yakin, aka nada masaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar